Gone

bi
3 min readMay 13, 2024

--

Nafasnya memburu dengan degupan jantungnya yang begitu kencang sebab ia harus berlari dengan begitu cepatnya. Ia, Madhava, segera kembali menuju ke rumah sakit sesaat setelah Gama memberinya kabar bahwa Khaivan sudah melewati masa komanya dan ia sudah membuka matanya.

Kini ia sudah berada tepat di depan ruangan Khaivan, nafas yang memberat dengan keringat yang berlinang tidak ia hiraukan, fokusnya hanya terpaku kepada kepada sosok yang tengah menyandarkan dirinya pada kepala bed hospital sedang senyumnya terpancar di wajah pucat yang masih terlihat sangat cantik itu. Khaivan benar-benar sudah membuka matanya.

Ia bisa mendengar tawa samar dari dalam ruangan, mungkin ia tengah bercanda dengan Gama. Pikirnya.

Tangannya memegang kenop pintu ruang rawat Khaivan. Begitu memasuki ruangan tersebut, tatapannya sudah sepenuhnya kepada manik Khaivan yang juga tengah menatapnya. Senyum dari wajah cantik itu secara perlahan memudar.

“Khai,” panggil Madhava lirih seraya berjalan perlahan, mendekati ranjang Khaivan.

Khaivan menggelengkan kepalanya ribut seiring melihat pria asing yang baru saja memasuki kamar rawatnya berjalan mendekat ke arahnya. “Gak, stop! Jangan kesini!” ucapnya cemas.

“Abang, please. Jangan biarin cowok itu kesini, Khai takut… abang please,” Khaivan melirih, memegang kedua tangan Gama; seakan bermaksud untuk meminta pertolongan kepada Gama yang tengah duduk di kursi yang tersedia di samping kasurnya.

Gama pun sama terkejutnya melihat kondisi Khaivan, ia tidak mencurigai hal tersebut bisa terjadi kepada Khaivan. Reaksi yang diberikan Khaivan begitu ia membuka mata dan melihat dirinya sangat berbeda dengan apa yang diberikan kepada Madhava. “Khai, sstt… tenang ya,” Gama berdiri dari duduknya dan memeluk tubuh bergetar adiknya dengan sesekali memberikannya usapan halus di lengan.

Khaivan menangis histeris begitu melihat dirinya, apakah itu reaksi yang pantas Madhava dapatkan? Madhava berpikir bahwa memang sepantasnya ia mendapatkan reaksi tersebut, secara tidak langsung awal mula dari penderitaan yang didapatkan Khaivan adalah bersumber darinya, kan? Ia tersenyum miris memikirkan hal tersebut.

Khaivan memeluk Gama begitu eratnya, hal tersebut bisa dilihat dari bagaimana tangannya yang meremat kuat jaket yang dikenakan Gama. Seakan ia ingin memberitahu kepada kakaknya bahwa ia tengah berada di suatu keadaan berbahaya, seperti orang asing tersebut akan menyakitinya. “Ssttt… dengerin abang,” Gama mencoba untuk melepas pelukannya dengan Gama, sekedar untuk melihat wajah Khaivan. Ia hapus air mata yang seperti berlomba untuk keluar dari mata adiknya tersebut, “Khai, lihat abang. Khai ikutin cara abang nafas pelan-pelan, ya?”

Khaivan menolaknya walaupun ia merasa dadanya sesak bukan main, tetapi ia tidak mau. Ia menginginkan kakaknya untuk membuat pria asing itu agar keluar dan pergi jauh dari jangkauan matanya.

“Khai mau apa? Bilang pelan-pelan sama abang, hm?”

“Bawa pergi orang itu keluar abang, Khai takut dia nyakitin Khai lagi,” bisiknya.

“Itu Madhava, Khai. Dia gak bakalan nyakitin kamu,” ini aneh, pikir Gama. Madhava yang telah menemukan Khaivan dan ia pula yang telah membawanya ke rumah sakit pertama kali. Bukankah seharusnya Khaivan merasa nyaman daripada merasa takut dengan sosok tersebut?

Khaivan menggelengkan kepalanya ribut, “Gak abang, gak. Dia cuma bakalan nyakitin Khai. Please tolongin Khai…”

“Kamu ingat Madhava, Khai? Dia yang nolongin kamu.”

Khaivan tidak menjawab, melainkan menangis dengan lebih keras lagi. Perasaan takut tengah membuncah hebat di dalam hati dan akalnya, tetapi kakaknya justru malah membiarkannya untuk berdekatan dengan orang asing yang mungkin akan menyakiti dirinya tersebut. “Gak abang, gak! Khai gak kenal dia, tapi yang jelas dia cuma akan nyakitin Khai. Please, bawa dia pergi abang.”

Benar. Inilah takdir yang harus diterima oleh Madhava. Ia memang seharusnya sadar diri bahwa keberadaannya yang berada di dekat Khaivan hanya akan menyakiti sosok tersebut. Memang seharusnya ia memasang batasan sejak awal agar Khaivan tidak harus merasakan sakit.

Pada akhirnya, Madhava hanya akan hidup dengan kesendirian, kesepian, dan rasa terbuang.

--

--

No responses yet